Seratus tahun bukan sekadar angka. Ia adalah lanskap waktu yang luas, tempat bangsa ini dilahirkan, tumbuh, jatuh bangun dan terus mencari bentuknya yang sejati. Dalam hamparan sejarah itu, ada sosok yang tak pernah tampil di depan, tapi justru menjadi penopang dari Polisi yang diakui sbg sosok paling jujur dan paling kuat idealismenya sepanjang sejarah Indonesia.
Namanya Meriyati Roeslani. Kita mengenalnya sebagai Ibu Merry, atau dengan rasa hormat yang lebih dalam, Eyang Merry.
Ia bukan tokoh publik. Ia tak pernah memberi pernyataan politik. Tak pernah tampil dalam tayangan debat. Namun dalam kesederhanaannya, dalam tatap matanya yang tenang, dalam keriput yang dicatat oleh tahun dan ketabahan, ia menjadi penanda bagi sesuatu yang telah lama hilang dari panggung kekuasaan yaitu ketulusan dan kesederhanaan.
Suaminya, Jendral Polisi Hoegeng Iman Santoso telah lama dikenal sebagai satu dari sedikit Jendral yang berdiri tegak di tengah derasnya kompromi. Polisi yang tak bisa disuap, tak bisa ditekan, dan tak bisa dibeli. Tapi di balik nama besar itu, ada seseorang yang berdiri jauh dari sorotan, namun justru menyalakan lentera bagi langkah-langkahnya: Ibu Merry.
Ia tidak pernah naik pangkat, tapi dialah yang membuat pangkat itu berarti. Ia tidak pernah tampil di podium, tapi dalam doanya, dalam dukungannya, dalam diamnya yang bijak, ada kekuatan yang membuat suaminya tetap berdiri ketika banyak yang tergoda untuk tunduk.
Dan di situlah letak kebesarannya.
Ketika Jendral Hoegeng, memilih berhenti dari jabatan, ia tidak menuntut. Ketika gaji kecil tak mampu membeli mobil pribadi, ia tak mengeluh. Ketika keputusan lurus membuat sang suami dijauhi kekuasaan, ia justru merapikan meja makan seperti biasa, dan tetap menyeduhkan teh dengan tangan yang sama tangan seorang Bhayangkari sejati.
Ia tidak butuh panggung. Ia tidak mengejar penghargaan. Tapi justru karena itulah, ia pantas dikenang.
Dan hari ini, ketika usia Eyang Merry genap seratus tahun, yang datang bukan hanya keluarga dan para tokoh bangsa. Hadir menyeruak dalam diam adalah sejarah. Yang datang adalah kenangan bangsa. Yang datang adalah kesadaran bahwa di balik negara yang sibuk merajut mimpi, masih ada pilar-pilar moral yang senyap namun kokoh.
Teladan Bagi Bhayangkari & Teladan Bagi Polri
Ibu Merry adalah lambang kesetiaan yang bukan sekadar pada suami, tapi juga pada nilai. Ia adalah Bhayangkari bukan karena seragam atau atribut, tapi karena ia setia pada kehormatan Polri pada makna terdalamnya.
Ketika kini sebagian anggota Polri harus bergulat dengan sorotan, persepsi publik, dan godaan kekuasaan, kisah Ibu Merry adalah pengingat bahwa di tubuh institusi itu pernah hidup sosok Kapolri yang penuh dengan kesederhanaan yang berakar kuat. Bahwa menjadi polisi bukan hanya soal jabatan dan struktur, tetapi soal hati nurani.
Teladan tak selalu datang dari petinggi. Kadang justru datang dari sosok yang tidak pernah tampil, tapi menjaga nilai dengan air mata yang tak terlihat, dan doa yang tak terdengar.
Ibu Merry adalah simbol dari itu.
Dan di tengah riuh rendah zaman yang lebih menghargai citra daripada karakter, kehadiran beliau adalah tamparan lembut bahwa yang abadi bukanlah popularitas, tetapi keteladanan.
Selamat ulang tahun, Eyang Merry
Seratus tahun engkau berjalan dalam kesunyian yang indah.
Engkau adalah teladan yang tidak pernah berpidato, tapi mengajarkan lebih dari seribu kata.
Engkau adalah kompas moral bagi kita semua yang mencoba bertahan dalam arus dunia yang makin kehilangan arah.
Dan Negeri ini masih punya harapan.
Selama masih ada sosok yang seperti Ibu Merry
(@ESBE2025)