TANJUNG SELOR – Ratusan warga geruduk Gedung DPRD Bulungan dalam aksi dramatis pada Senin (23/9). Mereka datang bukan untuk berdamai, melainkan untuk melawan dugaan perampasan lahan oleh perusahaan raksasa PT. KIPI, pengelola Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) yang kini jadi proyek andalan pemerintah pusat.

Teriakan protes menggema di ruang rapat DPRD. Warga yang tergabung dalam Gerakan Kampung Baru Mangkupadi (GKBM) menuntut keadilan atas tanah yang selama ini mereka garap secara turun-temurun, yang kini diklaim sebagai bagian dari wilayah operasional KIHI tanpa ganti rugi dan tanpa persetujuan!

“Kami bukan anti-industri, tapi jangan rampas tanah kami demi investasi!” teriak salah satu perwakilan warga dengan suara penuh emosi di hadapan anggota dewan.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) terbuka yang berlangsung tegang, sorotan utama mengarah pada proses Hak Guna Usaha (HGU). Warga menuding adanya kejanggalan serius dalam peralihan izin lahan dari PT. BCAP ke PT. KIPI.

Menurut mereka, proses ini gelap, tertutup, dan cacat prosedur. Mereka mengaku tak pernah dilibatkan atau diberi tahu. Tiba-tiba, tanah yang telah mereka kelola puluhan tahun masuk ke peta kawasan industri.

“Dimana dokumennya? Kenapa kami tidak dilibatkan? Ini bukan tanah kosong, ini tanah kami!” ungkap warga dalam forum yang disaksikan DPRD, Pemda, dan BPN.

Ketua DPRD Bulungan, Riyanto, tak tinggal diam. Ia secara terbuka menyatakan dukungannya pada warga dan menegaskan akan membentuk Tim Pengawasan Independen.

“Kami tidak akan biarkan ini menggantung. Semua data HGU harus dibuka dari awal hingga sekarang! Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi!” tegas Riyanto, yang langsung disambut tepuk tangan warga.

Riyanto juga meminta BPN hadir secara aktif dan membuka semua dokumen legalitas tanah yang kini menjadi sumber konflik di tengah proyek nasional itu.

Perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bulungan, dalam rapat tersebut mengungkap fakta mengejutkan: lahan yang disengketakan mencapai lebih dari 1.000 hektare yang berarti berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, bukan daerah.

BPN hanya bisa menangani permohonan hingga 25 hektare. Fakta ini membuat warga kian gusar, karena penyelesaian perkara bisa menjadi berbelit dan memakan waktu.

Di tengah sorotan tajam warga dan DPRD, perwakilan PT. KIPI, Jamal, akhirnya angkat suara. Ia menegaskan perusahaan tidak menutup diri dan siap menyelesaikan konflik secara baik-baik.

“Kami sudah bernegosiasi dengan beberapa warga. Harapannya bisa diselesaikan secara damai dan sesuai aturan,” kata Jamal singkat, mencoba meredakan ketegangan.

Warga Tetap Bersikukuh: Dasar Hukum HGu Abu-Abu, Negoisasi Tak Bisa Dilakukan

Kisruh ini membuka luka lama dalam persoalan agraria di Indonesia rakyat kecil harus berhadapan dengan proyek besar yang mengatasnamakan pembangunan. Meski KIHI disebut sebagai simbol masa depan industri hijau, namun di baliknya tersimpan cerita rakyat yang merasa terusir dari tanahnya sendiri.

 

“Jangan jadikan kami korban pembangunan. Kami butuh keadilan, bukan janji!” tegas tokoh GKBM.

Kini, semua mata tertuju pada DPRD, Pemda, dan BPN. Akankah mereka benar-benar membela rakyat? Atau menyerah di bawah tekanan kepentingan besar?

Tim pengawasan telah dijanjikan. Transparansi data dituntut. Rakyat menunggu bukti, bukan sekadar janji. (Lia)