TANJUNG REDEB – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Berau meminta peran aktif media dalam membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS.
Hal ini menyusul masih kuatnya stigma sosial yang kerap menimbulkan diskriminasi terhadap penyintas, padahal mereka dapat hidup sehat dan produktif bila rutin menjalani pengobatan.
Pengelola Program Pengendalian HIV Dinkes Berau, Andy Nuriyanto, mengatakan, saat ini pihaknya mencatat 66 kasus HIV/AIDS sepanjang tahun 2025. Jumlah tersebut sedikit meningkat dibanding tahun lalu yang mencapai 64 kasus. Namun menurutnya, peningkatan ini tidak semata-mata menandakan situasi memburuk.
“Bertambahnya jumlah kasus justru menunjukkan makin banyak warga yang berani memeriksakan diri. Artinya, kesadaran masyarakat mulai tumbuh,” ujar Andy saat ditemui belum lama ini.
Ia menilai, pemberitaan media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik. Karena itu, ia berharap setiap informasi yang disampaikan tidak hanya menonjolkan angka kasus, tetapi juga sisi edukasi dan empati terhadap pasien.
“Kadang yang membuat penyintas patah semangat itu bukan penyakitnya, tapi stigma yang terus disebarkan. Media punya peran penting untuk mengedukasi masyarakat bahwa HIV bisa dikendalikan, bukan dikucilkan,” tegasnya.
Andy menjelaskan, HIV memang belum bisa disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan terapi antiretroviral (ARV). Bila pengobatan dijalani secara rutin, kadar virus bisa ditekan hingga tidak terdeteksi, sehingga pasien tetap dapat beraktivitas layaknya orang sehat.
“Pasien HIV tetap bisa bekerja, menikah, bahkan memiliki anak yang sehat. Kuncinya disiplin minum obat dan dukungan sosial dari lingkungan,” jelasnya.
Selain pengobatan, Dinkes Berau juga memperluas layanan pemeriksaan HIV di seluruh puskesmas, sementara fasilitas pengobatan tersedia di beberapa titik, seperti Puskesmas Tanjung Redeb, Bugis, Gunung Tabur, Sambaliung, hingga RSUD dr. Abdul Rivai. Di wilayah pesisir dan hulu, layanan serupa juga tersedia di Puskesmas Talisayan, Segah, Kelay, Labanan, dan Tanjung Batu.
Andy menambahkan, faktor penularan HIV di Berau masih didominasi oleh perilaku seksual berisiko, baik hubungan sesama jenis, biseksual, maupun hubungan dengan pekerja seks. Karena itu, edukasi mengenai pencegahan tetap menjadi fokus utama Dinkes.
“Kami terus melakukan sosialisasi, terutama di kalangan muda dan kelompok berisiko. Tapi dukungan media sangat kami butuhkan agar pesan ini sampai lebih luas,” katanya.
Menurutnya, kolaborasi antara pemerintah dan media menjadi kunci dalam mengikis stigma negatif yang selama ini melekat pada penyintas HIV. Ia menekankan, pemberitaan yang berimbang dan berempati akan membantu masyarakat memahami bahwa pengidap HIV bukan ancaman, melainkan bagian dari komunitas yang perlu dirangkul.
“Kalau media ikut menyuarakan sisi positif dan semangat pasien untuk sembuh, itu bisa mengubah cara pandang masyarakat. Kita tidak hanya menekan angka kasus, tapi juga membangun lingkungan yang lebih manusiawi,” pungkasnya. (Sci)


