Menurut Amiruddin, penggunaan dana ADK lebih tepat karena aset lapangan yang dibangun di kampung menjadi milik kampung itu sendiri. Sementara, Dispora Berau hanya fokus melakukan pembangunan di tingkat ibu kota kecamatan, di mana asetnya tercatat sebagai milik pemerintah kabupaten.
“Kampung itu sebaiknya menggunakan dana ADK, karena nanti akan menjadi aset kampung. Kami hanya fokus di ibu kota kecamatan, karena asetnya ada di kantor camat,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa ADK juga bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga masih dalam pendanaan pemerintah daerah. Hanya saja, pengelolaannya diserahkan ke kampung agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah masing-masing.
Amiruddin menilai, persoalan kerap muncul karena tidak semua kampung mempertimbangkan aspek kelayakan dan keberlanjutan fasilitas.
“Kadang kampung tidak melihat kelayakan. Tiba-tiba minta dibangun, tapi setelah jadi terbengkalai. Akhirnya kami juga yang disalahkan,” ujarnya.
Untuk itu, Dispora Berau mengarahkan agar setiap kampung memanfaatkan ADK secara optimal untuk membangun sarana olahraga sesuai prioritas, sementara pembangunan berskala lebih besar difokuskan di tingkat kecamatan.
“Pertandingan-pertandingan besar kan biasanya digelar di kecamatan, jadi kami fokus di sana,” tambahnya.
Amiruddin juga mengingatkan bahwa pembangunan lapangan sepak bola bukan hanya membutuhkan biaya konstruksi yang besar, tetapi juga biaya perawatan yang tinggi.
“Kalau lapangan dengan standar seperti stadion mini itu mahal. Bukan cuma pembangunannya, tapi perawatannya juga sangat tinggi,” ujarnya.
Dengan demikian, ia berharap pemerintah kampung lebih bijak dalam merencanakan pembangunan sarana olahraga agar tidak hanya berdiri secara fisik, tetapi juga dapat dimanfaatkan dan dirawat secara berkelanjutan. (Dvn)


