Samarinda – Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda menegaskan, komitmennya untuk terus melindungi ruang digital dari serangan fitnah dan disinformasi, Sebagai upaya untuk membangun partisipasi publik yang sehat melalui program Pro-Bebaya.

Program Pro-Bebaya bukan sekadar inisiatif pembangunan, tetapi model kolaborasi warga yang transparan dan akuntabel. Setiap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan kegiatan dilakukan langsung oleh warga melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas).

Berdasarkan pada Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 tentang Swakelola serta Peraturan Wali Kota Samarinda Nomor 11 Tahun 2022 tentang Pedoman Teknis Pro-Bebaya.

Namun, semangat kolaboratif ini sempat dirusak oleh munculnya sebuah akun media sosial berinisial k_n yang menyebarkan narasi menyesatkan dan fitnah digital terhadap pelaksanaan Pro-Bebaya.

Tindakan ini tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga mencederai etika komunikasi digital dan mencoreng upaya kolektif masyarakat Samarinda membangun tata kelola yang partisipatif.

Menanggapi hal itu, Wali Kota Samarinda,Andi Harun, menegaskan sikap tanpa kompromi terhadap segala bentuk penyebaran informasi palsu.

“Tuduhannya sangat serius. Produk media jurnalis maupun citizen journalist harus berbasis fakta. Jika tidak, maka itu hanyalah konten fitnah dan hoaks yang termasuk delik pidana,” tegas Andi Harun.

Sebagai ahli hukum pidana, Andi Harun menegaskan bahwa penyebaran fitnah digital bukanlah bentuk kritik, melainkan pelanggaran hukum yang dapat dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Baik secara pribadi maupun sebagai kepala daerah, saya bersama Pemerintah Kota sedang menyiapkan langkah mitigasi dan hukum yang paling tepat,” ujarnya.

Pernyataan ini menjadi penegasan bahwa pemerintah tidak anti kritik, namun tetap berpegang pada prinsip etika dan tanggung jawab informasi publik.

Kritik yang berbasis data adalah bagian dari demokrasi, tetapi fitnah digital adalah bentuk kekerasan simbolik yang berpotensi merusak kepercayaan publik.

Ia juga mengajak agar seluruh warga dan pengguna media sosial untuk membedakan kritik dengan provokasi, serta memilih fakta daripada opini yang menyesatkan. Di era kebebasan berekspresi, tanggung jawab moral dan hukum tetap menjadi batas yang harus dijaga.

Diakhir ia menegaskan bahwa Pro-Bebaya adalah bukti nyata bahwa kolaborasi warga dapat berjalan secara terbuka dan legal. Dan dalam ruang digital, fakta harus tetap menjadi pijakan bersama bukan fitnah yang menyesatkan, melainkan kebenaran yang memperkuat peradaban.(*)