Samarinda – Wali Kota Samarinda, Andi Harun, mendesak agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) untuk secepatnya menggelar Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) kesiapsiagaan bencana.
Perihal itu ia sampaikan akibat meningkatnya ancaman bencana hidrometeorologi dan tanah longsor, termasuk etelah bencana banjir dan tanah longsor yang melanda provinsi Sumatera dan Aceh.
Kepada awak media, ia menilai bahwa solusi parsial seperti perbaikan drainase tidak lagi memadai lagi. Serta menyatakan bahwa bencana yang berulang, justru merupakan dampak akumulatif dari kerusakan lingkungan yang terjadi bertahun-tahun.
“Banjir dan longsor tidak bisa diatasi hanya dengan teknis drainase. Ini akibat kerusakan keseimbangan alam yang dibiarkan terlalu lama,” tegasnya, usai meninjau proyek Terasa Samarinda, pada Sabtu (6/12/2025).
Pria yang akrab disapa AH itu juga menjelaskan, sebagai bentuk kontribusi ilmiah sekaligus mendorong perubahan pola pikir, ia tengah menyiapkan tulisan akademik tentang akar persoalan bencana dan tata kelola lingkungan.
“Saya sedang menyiapkan tulisan ilmiah agar masyarakat dapat melihat persoalan ini lebih jernih dan mendorong semua pihak ikut bertanggung jawab,” ujarnya.
Kata dia, situasi saat ini menuntut kesiapsiagaan kolaboratif lintas sektor. Ia pun secara terbuka meminta Gubernur Kaltim segera mengumpulkan seluruh kepala daerah.
“Sejak pekan lalu saya sudah sampaikan, kita harus duduk bersama, seluruh kabupaten/kota. Mudah-mudahan Pak Gubernur segera mengumpulkan kami,” tegasnya.
Orang nomor satu di Kota Tepian (julukan Samarinda) itu juga menekankan bahwa Rakornis yang digagas harus melibatkan unsur lengkap yakni para bupati/wali kota, TNI–Polri, BNPB, BPBD kabupaten/kota, Basarnas, dinas sosial, hingga relawan kebencanaan.
“Kita butuh koordinasi besar yang melibatkan semua sektor. Ini bukan situasi biasa,” katanya.
Selain itu ia juga memperingatkan, penanggulangan bencana tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Pola autopilot tiap daerah hanya membuat respons tidak sinkron, padahal undang-undang mengamanatkan penanganan berbasis pentahelix.
“Kalau berjalan sendiri-sendiri, langkahnya tidak akan terkoordinasi. Undang-undang sudah menegaskan penanganan bencana harus pentahelix,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pihak melepaskan ego sektoral dan bersikap objektif dalam menghadapi potensi bencana besar yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Diakhir AH juga mengimbau masyarakat yang tinggal di wilayah rawan longsor untuk meningkatkan kewaspadaan, mencari alternatif tempat tinggal saat cuaca ekstrem, dan terlibat aktif dalam upaya pengendalian banjir.
“Ini sudah sangat mendesak. Kita harus segera duduk bersama,” tutupnya.(*)

