IT-News.id, TANJUNG SELOR – Suasana pagi yang biasanya tenang di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, mendadak berubah panas. Suara teriakan, ritual adat hingga asap hitam dari ban terbakar membumbung tinggi di depan Kantor Gubernur Kaltara.
Di bawah bendera perjuangan adat, ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Dayak Kaltara menyuarakan satu tuntutan yang jelas yakni Tolak Transmigrasi!
Massa memulai aksi damai mereka dari Tugu Cinta Damai sekitar pukul 10.00 WITA, Senin (4/4), lalu menaiki kendaraan roda empat hingga roda dua menuju Kantor Gubernur Kaltara, di Jalan Kolonel Soetadji.
Sesampainya di halaman kantor, sebuah ritual adat dilakukan sebagai simbol perlawanan, pemotongan anak babi dan pembakaran ban menjadi ekspresi kekecewaan yang mendalam.
“Kami bukan menolak pembangunan, kami menolak peminggiran. Jangan bawa orang baru lagi, kami masyarakat asli masih banyak yang belum diberdayakan!” tegas Marli, salah satu tokoh adat dalam orasi lantangnya.
Dalam aksi yang berlangsung selama tiga jam tersebut, masyarakat adat menyuarakan keresahan terhadap program transmigrasi yang dinilai tidak adil dan merugikan hak masyarakat lokal.
Menurut mereka, pemerintah pusat terlalu fokus menghadirkan pendatang dari luar daerah sementara warga asli masih banyak yang hidup dalam keterbatasan dan belum tersentuh program pemberdayaan.
Bagi masyarakat Dayak Kaltara, transmigrasi bukan sekadar program kependudukan, melainkan bentuk “penjajahan baru” terhadap tanah adat dan budaya mereka.
“Ini bentuk neo-kolonialisme! Kami bukan tanah kosong yang bisa diisi seenaknya!” seru salah satu orator, memancing sorak sorai dari massa aksi.
Dalam tuntutannya, massa menyatakan secara tegas:
• Menolak keras program transmigrasi ke wilayah Kalimantan Utara
• Mendukung gugatan terhadap Undang-Undang Transmigrasi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi
• Mendesak Pemerintah Daerah untuk mengambil sikap nyata, bukan hanya sekadar kata-kata.
Wakil Gubernur Kalimantan Utara, Ingkong Ala, yang menerima perwakilan massa, menyatakan bahwa pihaknya akan menampung aspirasi masyarakat dan menyampaikan bahwa program yang berjalan saat ini merupakan kelanjutan dari rencana 2019 yang tertunda akibat pandemi.
“Ini bukan program transmigrasi baru, melainkan penyelesaian dari program pada 2019 lalu dan ada sekitar 55 KK yang menerima program dan itu ada di Bulungan,” bebernya.
Kami juga terbuka untuk berkoordinasi agar program-program desa lebih berpihak kepada masyarakat lokal,”tambah Ingkong.
Lalu ditambahkan, Kepala Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi Bulungan, Hasanuddin, membenarkan program transmigrasi pada tahun ini akan segera dijalankan.
Dan sebanyak 55 KK yang mendapatkan, untuk program tersebut dijelaskan dia pemerintah pusat mengalokasikan Rp 6 Miliar. “Jadi lahan warga lokal di SP 10, lahan warga yang dijadikan masuk kawasan transmigrasi dan mereka yang menempati kembali,” bebernya.
Program yang dijalan 2025 ini, merupakan yang tertunda sejak 2019. “Jadi ini kebijakan diambil setelah itu tidak ada lagi, dan untuk lahan yang terima warga sebesar 2 hektar,” jelas dia.
Orasi dari masyarakat adat dayak hari ini tambah dia, merupakan luapan kekecewaan dan pihaknya juga berupaya berlaku adil.
Dan menurutnya, solusi Wagub Kaltara soal berdayakan lahan kosong didesa untuk pemerataan penduduk menjadi solusi yang baik agar merata.
“Yang jelas untuk tranmigrasi ini kita tegas Bulungan sudah stop program di 2025 karena sudah tidak ada lahan,” tutup Hasan. (Lia)