TANJUNG SELOR – Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Pemprov Kaltara) tengah menyiapkan regulasi khusus untuk melindungi Area Bernilai Konservasi Tinggi (ANKT) di tengah pesatnya perluasan perkebunan kelapa sawit.
Langkah ini dinilai mendesak, mengingat Kaltara memiliki tutupan hutan tertinggi di Kalimantan, yakni 5,49 juta hektare atau 78,48 persen dari total wilayah, berdasarkan kajian Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Ancaman deforestasi akibat ekspansi perkebunan disebut terus meningkat dan berisiko mempercepat perubahan iklim serta memicu bencana ekologis. Karena itu, Pemprov menekankan pentingnya menerapkan prinsip perkebunan berkelanjutan, termasuk perlindungan kawasan bernilai konservasi.
“Pemda memiliki peran penting untuk Pengelolaan Perkebunan Berkelanjutan dan Area Bernilai Konservasi Tinggi,” jelas Kepala Bappeda dan Litbang Kaltara, Bertius, usai usai mengikuiti forum Thought Leaders Forum (TLF), Kemarin Selasa (9/12).
Bertius menegaskan perlunya menjaga keseimbangan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
“Kita tidak boleh mengulang kesalahan daerah lain. Ekspansi perkebunan yang tak terkendali bisa menghilangkan hutan, mengurangi keanekaragaman hayati, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat. Kalimantan Utara adalah paru-paru dunia,” ujarnya.
Produksi kelapa sawit di Kaltara terus menunjukkan peningkatan pesat. Hingga September 2025, realisasi tanam mencapai 579.220 hektare. Sementara itu di Bulungan, produksi sawit naik signifikan sejak 2018 hingga 2024, dengan 25 perkebunan terdaftar.
Sebanyak 84 persen lahan ditanam oleh perusahaan, sisanya oleh petani kecil. Kondisi ini mempertegas urgensi regulasi untuk mencegah perluasan yang mengorbankan ANKT.
Direktur Eksekutif YKAN, Herlina Hartanto, menekankan bahwa sawit tetap memiliki peran strategis bagi ekonomi daerah, namun harus dikelola secara berkelanjutan.
“Pengelolaan harus menghindari konversi area bernilai konservasi tinggi—baik secara biologis, ekologis, sosial, maupun budaya,” tegasnya.
Forum juga menyoroti standar global seperti RSPO, NDPE, dan aturan baru Uni Eropa (EUDR) yang mengharuskan praktik bebas deforestasi. Selain itu, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kini diperkuat melalui Perpres Nomor 16 Tahun 2025.
Disisi lain Rektor Universitas Borneo Tarakan, Yahya Ahmad Zein, menambahkan pentingnya data ANKT yang mutakhir serta peran perguruan tinggi dalam riset dan penguatan kapasitas SDM.
“Mitigasi harus dilakukan sebelum bencana terjadi. Regulasi akan memberi kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah,” katanya.
Hal sama disampaikan, Anggota DPRD Kaltara yang juga Ketua Badan Pembentukan Perda, Supaad Hadianto, menyatakan siap mempercepat pembahasan Raperda Perkebunan Berkelanjutan.
“Kita belajar dari pengalaman Sumatera. Jangan sampai Kaltara mengalami hal serupa,” ujarnya.
Sementara itu, Musnanda Satar dari YKAN mengingatkan bahwa tidak semua lahan non-hutan layak dialihkan menjadi perkebunan sawit. “Konservasi adalah menjaga keberlanjutan hidup manusia dan alam,” tegasnya.
Regulasi yang tengah disiapkan Pemprov dan DPRD Kaltara diharapkan menjadi pijakan kuat untuk menekan laju deforestasi, sekaligus memastikan pengelolaan perkebunan yang lebih berkelanjutan dan berimbang dengan kelestarian lingkungan. (lia)

