JAKARTA — Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung memeriksa sepuluh saksi dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero), Subholding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023.

Salah satu saksi yang menjadi sorotan ialah GI, mantan VP Procurement PT Berau Coal periode 2017–2023. Perusahaan tambang batu bara tersebut diduga terlibat dalam klaster kontrak penjualan solar nonsubsidi dengan harga di bawah bottom price, bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP).

“Pemeriksaan dilakukan terhadap 10 saksi, termasuk GI selaku VP Procurement PT Berau Coal tahun 2017–2023,” ujar Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Sembilan saksi lainnya berasal dari lingkungan PT Pertamina (Persero) dan anak usahanya, antara lain PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga. Seluruhnya telah menjalani pemeriksaan pada Senin (27/10/2025).

Menurut Anang, pemeriksaan tersebut dilakukan untuk melengkapi berkas penyidikan terhadap sembilan tersangka, termasuk Hasto Wibowo (HW)—mantan VP Integrated Supply Chain Pertamina (2019–2020), pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid (MRC), dan sejumlah pihak lainnya.

“Pemeriksaan saksi dilakukan guna memperkuat pembuktian dan penyempurnaan pemberkasan atas nama tersangka HW dan kawan-kawan,” ungkapnya.

13 Perusahaan Diuntungkan, Potensi Kerugian Rp2,54 Triliun

Dalam pengembangan kasus ini, jaksa menemukan sedikitnya 13 perusahaan yang diuntungkan dari kontrak penjualan solar nonsubsidi di bawah harga dasar (bottom price), bahkan di bawah HPP Pertamina.

Temuan itu terungkap dalam sidang dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018–2023.

Jaksa menyebut praktik tersebut dijalankan dengan alasan mempertahankan pangsa pasar industri, namun tanpa memperhatikan profitabilitas dan kepatuhan terhadap pedoman tata niaga, sebagaimana diatur dalam Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga No. A02-001/PNC200000/2022-S9.

Audit internal dan hasil penyidikan kejaksaan mencatat total keuntungan tidak sah mencapai Rp2,54 triliun. Berikut daftar perusahaan yang disebut diuntungkan:

PT Pamapersada Nusantara (Grup Astra / United Tractors Tbk) – Rp958,38 miliar

PT Berau Coal (Sinar Mas Group) – Rp449,10 miliar

PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA / Delta Dunia Group) – Rp264,14 miliar

PT Merah Putih Petroleum – Rp256,23 miliar

PT Adaro Indonesia (Adaro Group) – Rp168,51 miliar

PT Ganda Alam Makmur (Titan Group & LX International Korea) – Rp127,99 miliar

PT Indo Tambangraya Megah Tbk (Banpu Group / Thailand) – Rp85,80 miliar

PT Maritim Barito Perkasa (Adaro Logistics) – Rp66,48 miliar

PT Vale Indonesia Tbk (Vale S.A. / Brasil) – Rp62,14 miliar

PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (Heidelberg Materials / Jerman) – Rp42,51 miliar

PT Purnusa Eka Persada / PT Arara Abadi (Sinar Mas Group / APP Forestry) – Rp32,11 miliar

PT Aneka Tambang Tbk (Antam / BUMN MIND ID) – Rp16,79 miliar

PT Nusa Halmahera Minerals (PT Indotan & Antam) – Rp14,06 miliar

(Inilah.com)