Menurutnya, Berau memiliki potensi produksi pangan yang besar dan beragam, mulai dari ikan tongkol, tuna, hingga bahan pangan segar lainnya. Namun, potensi tersebut belum dioptimalkan dalam penyusunan menu harian MBG.
“Produksi ikan tongkol dan tuna kita mencapai sekitar 954 ton atau hampir 90 persen dari kebutuhan masyarakat. Ini sebenarnya bisa menjadi alternatif lauk utama dalam program MBG,” jelas Rakhmadi.
Ia menilai, integrasi komoditas lokal ke dalam program MBG akan memberikan efek bukan hanya mendukung ketahanan pangan, tetapi juga memperkuat perekonomian masyarakat, terutama nelayan dan petani lokal.
“Kalau bahan pangan dari daerah sendiri yang digunakan, rantai pasok akan lebih pendek, biaya transportasi bisa ditekan, dan masyarakat lokal ikut mendapatkan manfaat ekonomi,” tambahnya.
Selain mendorong penyesuaian menu, Dinas Pangan juga tengah mengkaji penguatan infrastruktur pendukung, seperti cold storage dan jaringan distribusi yang efisien. Saat ini, Berau baru memiliki 17 pelaku distribusi pangan yang sebagian besar hanya menyalurkan beras, gula, minyak goreng, dan telur ayam ras.
Untuk itu, Rakhmadi mengusulkan agar koperasi desa dan Perusda dilibatkan langsung dalam pasokan bahan pangan MBG, agar rantai pasok pangan lokal menjadi lebih kuat dan inklusif.
“Kita ingin koperasi dan Perusda bisa menjadi bagian dari dapur MBG. Jadi manfaat program ini tidak berhenti di penerima bantuan saja, tapi juga menggerakkan ekonomi di tingkat lokal,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan gizi dan kemandirian pangan. Meski bahan seperti wortel dan melon sering digunakan dalam MBG, ketersediaan komoditas itu di Berau masih terbatas, karena sebagian besar didatangkan dari luar daerah.
“Ke depan, kami ingin MBG menjadi contoh program yang benar-benar berpihak pada pangan lokal. Dengan begitu, kita tidak hanya memberi makan bergizi, tapi juga membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan,” pungkas Rakhmadi. (Dvn)


