Tanjung Redeb – Pemerintah Kabupaten Berau menegaskan bahwa keberadaan gapura tidak bisa dijadikan dasar penentuan batas wilayah administrasi kampung. Hal tersebut disampaikan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setkab Berau, Hendratno, menanggapi dinamika batas Kampung Kasai dan Kampung Batu Batu.
Menurut Hendratno, gapura pada prinsipnya hanya bersifat simbolis dan merupakan bentuk imbauan atau doa bagi masyarakat yang melintas. “Kalau gapura itu kan sifatnya himbauan atau doa, seperti ‘selamat jalan, selamat sampai’. Kalau sifatnya doa, saya pikir tidak masalah,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penetapan batas wilayah kampung memiliki prosedur baku atau standar operasional prosedur (SOP) yang jelas. Mulai dari peletakan patok batas, kehadiran para pihak terkait, hingga penandatanganan berita acara sebagai dasar hukum administrasi.
“Terkait tapal batas itu ada SOP-nya. Peletakan patok harus jelas, siapa saja yang hadir, bagaimana berita acaranya. Itu yang disebut penetapan patok batas,” jelasnya.
Hendratno menyebutkan bahwa proses publikasi batas wilayah sebenarnya telah dilakukan. Namun, perbedaan aspirasi masyarakat kerap muncul seiring dengan pergantian pemerintahan kampung. Hal tersebut dinilai wajar, sebagaimana dinamika pemekaran wilayah yang pernah terjadi, baik pemekaran provinsi maupun kecamatan di Kabupaten Berau.
“Aspirasi masyarakat itu bebas, mau menambah atau mengurangi. Yang penting ada kesepakatan kedua belah pihak,” katanya.
Ia menekankan, meskipun nantinya batas yang disepakati berbeda dari penetapan awal, hal itu tidak menjadi persoalan selama disepakati bersama dan mengikuti prosedur yang berlaku. Permasalahan akan muncul apabila salah satu pihak tidak menerima hasil kesepakatan tersebut.
Lebih lanjut, Hendratno menjelaskan bahwa penentuan batas wilayah di lapangan tidak semudah menarik garis di atas peta. Apalagi jika patok batas belum terpasang, sehingga kerap menimbulkan perbedaan persepsi di tengah masyarakat.
“Batas administrasi dengan ruang kerja masyarakat, seperti bertani, itu berbeda. Batas kampung itu untuk kepentingan administrasi pemerintahan dan pelayanan, bukan membatasi aktivitas bertani masyarakat,” terangnya.
Ia mengakui perbedaan pemahaman ini sering kali menimbulkan kegelisahan warga. Namun demikian, Pemkab Berau terus berupaya mengoordinasikan dan mengoreksi batas wilayah agar tidak berkembang menjadi konflik.
“Yang penting jangan sampai menjadi konflik. Kalau sudah konflik, itu bukan kebijakan lagi, tapi sudah masuk ranah lain,” pungkasnya. (*)

