“Kami menyambut baik inisiatif ini. Harapannya ada rencana aksi cepat berdasarkan ancaman yang paling mendesak, sehingga setiap pihak bisa mengambil peran sesuai kewenangannya. Dengan begitu, habitat pesut bisa segera diperbaiki,” jelas Danielle kepada awak media, pada Rabu (29/9/2025).
Ia menyebutkan, tren populasi pesut Mahakam sejak 2024 diperkirakan hanya tersisa sekitar enam puluh ekor. Sementara untuk data pasti tahun 2025 belum tersedia karena survei masih berlangsung.
“Populasi jelas menurun. Ada yang lahir, tapi ada juga yang mati. Meski begitu, kematian akibat jaring insang sudah berkurang dibanding sebelumnya. Ini tentu berkat kerja sama pemerintah dan masyarakat,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyatakan bahwa RASI juga menemukan ancaman baru bagi kehidupan Pesut di Sungai Mahakam yakni berupa mikroplastik dalam tubuh pesut.
“Mikroplastik bisa mengganggu sistem pencernaan dan berpengaruh terhadap kesehatan pesut. Ini masalah serius yang harus segera ditangani,” tegasnya.
Danielle menjelaskan, sejauh ini RASI telah menetapkan empat fokus utama untuk konservasi pesut yakni, mengurangi kematian akibat jaring, memperbaiki habitat dari polusi, mengendalikan kebisingan bawah air, serta mencegah tabrakan kapal dengan ikan di anak sungai.
“Di anak sungai, kami menolak keberadaan lintasan ponton karena terlalu sempit dan berisiko tinggi menabrak pesut. Itu juga tidak sesuai aturan lalu lintas sungai,” katanya.
Selain itu, kata dia, praktik penangkapan ikan oleh nelayan dengan racun dan setrum juga masih menjadi ancaman serius.
“Kami menemukan kasus anak pesut mati karena setrum. Kami berharap patroli dan pengawasan diperketat agar masyarakat jera melakukan praktik terlarang itu,” ujarnya.
Terkait kemungkinan budidaya pesut untuk menyelamatkan populasi, Danielle menegaskan hal itu tidak memungkinkan.
“Pesut sangat rentan stres jika hidup di luar habitat aslinya. Perbaikan habitat alami dan ketersediaan makanan tetap menjadi kunci utama penyelamatan populasi,” tutupnya. (*)