TANJUNG SELOR – Dugaan penjualan sapi bantuan dari Pemerintah Pusat oleh kelompok tani di Desa Kelubir, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, memicu perhatian publik. Isu tersebut mencuat setelah informasi soal transaksi sapi bantuan itu beredar luas di media sosial.

Bantuan sebanyak 20 ekor sapi yang disalurkan pada tahun 2022 melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Provinsi Kalimantan Utara disebut-sebut telah dikurangi. Enam di antaranya diduga dijual oleh oknum perangkat desa pada tahun ini.

Kepala Dinas Pertanian Bulungan, Kristianto, membenarkan adanya penjualan sapi bantuan tersebut. Ia menyebut bahwa terdapat alasan di balik tindakan itu.

“Memang benar ada sapi yang dijual. Tapi informasinya, sapi itu dijual untuk membeli dua ekor sapi jenis limosin yang lebih produktif. Hal ini tentu masih akan kami cek langsung ke lapangan,” ujar Kristianto saat ditemui di ruang kerjanya.

Meski demikian, Kristianto menegaskan bahwa persoalan ini akan diselesaikan dengan pendekatan persuasif dan kekeluargaan. Dalam waktu dekat, pihaknya akan menggelar mediasi.

“Kami akan panggil kepala desa, kelompok tani, pihak kecamatan, PKN dan juga DPKP Kaltara untuk menyelesaikan masalah ini melalui mediasi,” ujarnya.

Kristianto juga menyoroti lemahnya pelaporan dari kelompok tani penerima bantuan. Menurutnya, seharusnya perkembangan ternak wajib dilaporkan secara rutin. Terlebih sapi indukan yang diberikan sejak dua tahun lalu, seharusnya telah melahirkan.

“Aturannya, anak pertama dari sapi bantuan harus dikembalikan ke pemerintah untuk dikembangkan ke kelompok tani lain. Sementara anak kedua baru bisa dimanfaatkan oleh Gapoktan. Pola ini akan terus kami dorong untuk memperluas keberhasilan pengembangbiakan di Bulungan,” katanya.

Senada dengan Kristianto, Kepala Bidang Peternakan DPKP Kaltara, Surianto Samuel Taro, juga membenarkan adanya penjualan sapi. Namun ia menyebut bahwa hal itu dilakukan dengan niat mengganti sapi yang dinilai kurang produktif.

“Dari laporan yang kami terima, sapi-sapi yang dibagikan ke Gapoktan ternyata tidak produktif. Karena itu mereka mengganti dengan membeli sapi jenis limosin dan sapi bali yang kualitasnya lebih baik,” ujar Surianto.

Ia menambahkan, dari total 20 ekor sapi bantuan, dua di antaranya mati dan 18 ekor tersisa. Namun sapi-sapi yang masih ada tidak berkembang biak sebagaimana harapan, sehingga mendorong kepala desa untuk mengambil inisiatif tersebut.

“Masalah lainnya, Gapoktan tidak aktif melaporkan perkembangan ternak kepada pemerintah. Padahal itu kewajiban sebagai penerima bantuan,” kata dia.

Atas peristiwa ini, DPKP Kaltara menyatakan akan menjadikan kasus tersebut sebagai pembelajaran untuk memperkuat sistem pengawasan dan pembinaan kepada kelompok tani ke depan.

“Kami tetap akan tempuh jalur mediasi. Tapi bila dalam tiga tahun penerima tidak memberikan laporan progres, tidak menutup kemungkinan bantuan bisa kami evaluasi dan bahkan cabut,” tutupnya.(*lia)