Tanjung Redeb– Banjir berulang kali menerjang Kampung Siduung Indah dan Jalan negara (poros jalan Segah) Progress pembangunan infrastruktur jalan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Penyebabnya adalah sumbatan aliran sungai—dikenal warga sebagai kamparan—berupa tumpukan kayu dan material lain sepanjang kurang lebih 3 kilometer. Usulan untuk normalisasi sungai telah tiga kali diajukan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), namun eksekusinya terhambat oleh status lahan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) atau kawasan hutan dengan peruntukan khusus.
Setiap kali hujan deras, derita warga sering terulang. Ketinggian air sungai yang normalnya 1,5 meter kini naik menjadi 15 sentimeter, ketika hujan deras, cukup untuk menenggelamkan permukiman dan memutus akses jalan. Warga kini hidup dalam waswas, terisolasi oleh bencana yang kemungkinan datang berulang.
Lugan, seorang anggota Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) Siduung Indah, menyuarakan keputusasaan warganya. Menurutnya, rencana perbaikan jalan sepanjang 13 kilometer yang akan datang bisa jadi sia-sia. “Kami berharap pemerintah pusat maupun daerah bisa memperhatikan masyarakat yang tinggal di pelosok,” ujarnya. “Namun, jika kamparan itu tidak dibuka atau dibersihkan, jalan yang diperbaiki akan tetap rusak karena debit air yang terus meluap. Ini seperti menyelesaikan masalah hilir tanpa menyentuh hulunya.”
Kekhawatiran Lugan beralasan. Dampak sumbatan sungai tidak hanya merendam rumah, tetapi juga melumpuhkan infrastruktur vital yang menjadi urat nadi perekonomian warga.
Senada dengan Lugan, Sekretaris Desa (Sekdes) Kampung Pandan Sari, Obet, menegaskan bahwa usulan ini bukanlah hal baru. “Perihal kamparan ini sudah tiga kali kami ajukan ke Musrenbang. Dua kampung sudah bersepakat untuk pembersihan total,” kata Obet. Ia mendesak agar realisasi segera dilakukan. “Kami berharap pembersihan bisa dipercepat ucapnya.
Suara dari para tokoh masyarakat adat pun semakin menguat. Yahya Asa, Wakil Ketua Adat Siduung Indah, mengatakan bahwa kesabaran warga sudah di ambang batas. Menurutnya, setiap kali banjir datang, tumpukan material pada kamparan justru semakin bertambah, memperparah penyumbatan.
“Kamparan ini harus dipercepat penanganannya. Kami meminta pemerintah segera melakukan eksekusi agar kami tidak terus-menerus menderita seperti ini,” tegasnya.
Persoalan ini juga mendapat perhatian serius dari organisasi masyarakat Dayak. Ketua DPD Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Kabupaten Berau, Marjinus Ugin, menyampaikan pandangan dan harapannya secara profesional.
“Pemerintah harus melihat ini sebagai kondisi darurat kemanusiaan, bukan sekadar masalah administrasi,” kata Marjinus. “Regulasi mengenai status lahan KBK tentu penting untuk dihormati, namun keselamatan dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas tertinggi. Aturan ada untuk melayani manusia, bukan sebaliknya.”
Marjinus berharap ada sebuah terobosan dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah dan instansi terkait untuk mencari solusi. “Harapan kami,” lanjutnya, “adalah pemerintah dapat duduk bersama dengan perwakilan masyarakat, tokoh adat, dan semua pihak terkait untuk menemukan jalan keluar yang bijaksana. Jangan biarkan masyarakat pelosok menjadi korban dari kekakuan birokrasi. Normalisasi sungai ini adalah investasi untuk keselamatan jangka panjang dan juga untuk menjaga agar infrastruktur jalan yang dibangun dengan uang rakyat tidak hancur sia-sia.”
Kini, nasib Ratusan warga di dua kampung tersebut bergantung pada kecepatan dan ketegasan pemerintah dalam mengatasi sumbatan sungai yang telah lama menjadi sumber bencana bagi mereka.(/lit)