TANJUNG SELOR – Ketegangan kembali mewarnai kawasan Desa Mangkupadi, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Sabtu, 14 Juni 2025. Sejumlah warga tampak berkumpul di sekitar sebuah bangunan milik warga bernama Siti Rabiah yang disebut akan dibongkar paksa oleh pihak perusahaan PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), pengelola kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).
Dalam rekaman video amatir yang beredar di media sosial, terlihat warga berjaga-jaga di sekitar bangunan milik Siti Rabiah untuk mencegah aksi pembongkaran. Warga menolak langkah sepihak yang dilakukan pihak perusahaan yang bahkan disebut-sebut mendatangkan aparat kepolisian ke lokasi.
“Bangunan ini berdiri di atas tanah saya sendiri. Saya punya SPPT sejak 2012 dan sudah menggarap lahan ini sejak 1997. Tapi mereka datang seenaknya, bahkan membawa polisi,” kata Siti Rabiah kepada wartawan.
Ia menilai tindakan PT KIPI sebagai bentuk intimidasi dan tidak menghormati proses hukum. Menurutnya, langkah perusahaan yang beroperasi dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) itu telah mencederai hak-hak warga.
“Pembongkaran yang dilakukan tanpa dasar hukum jelas merupakan tindakan sewenang-wenang. Untung warga bersama-sama menolak, sehingga mereka gagal,” ucap Siti.
Insiden serupa disebut bukan yang pertama. Beberapa waktu lalu, PT KIPI juga dituding melakukan penggusuran terhadap sejumlah lahan warga tanpa kompensasi dan pemberitahuan resmi. Aksi itu sempat memicu protes dari warga setempat.
Pihak perusahaan akhirnya memilih meredam situasi. Melalui perwakilannya, PT KIPI menyatakan tidak akan melanjutkan rencana pembongkaran. Irawati Tahir, selaku Person in Charge (PIC) perusahaan, menyebut pendekatan persuasif menjadi langkah yang ditempuh.
“Kami sudah temui perwakilan warga dan sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah. Tidak ada pembongkaran saat ini,” kata Irawati.
Namun, pihaknya belum memberikan kejelasan terkait status lahan maupun kemungkinan ganti rugi. “Kami tidak bisa menjelaskan secara detail saat ini. Yang pasti, lahan ini masuk dalam HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan,” ujarnya.
Pernyataan itu kembali menimbulkan pertanyaan bagi warga. Siti Rabiah menilai, jika memang perusahaan mengklaim memiliki dasar hukum, seharusnya proses dilakukan melalui jalur pengadilan, bukan dengan pendekatan koersif.
“Tindakan semacam ini mencerminkan arogansi korporasi dan lemahnya peran negara dalam melindungi rakyat kecil,” katanya.(*lia)