Tanjung Redeb — Aturan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan mineral logam diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2023, yang menggantikan ketentuan sebelumnya dalam Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020 dan Nomor 16 Tahun 2021. RKAB merupakan dokumen wajib yang disusun oleh pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) untuk kegiatan usaha pertambangan, yang meliputi aspek pengusahaan, teknik, dan lingkungan.

Tanpa adanya RKAB seharusnya pemegang ijin usaha pertambangan (IUP) belum dapat melakukan usaha pertambangan, namun dalam banyak kasus banyak sekali aspek yang mempengaruhi persetujuan RKAB pertambangan, baik dari perusahaan pemegang (Ijin Usaha Pertambangan) atau pun dari kesiapan Verifikator di kementerian ESDM itu sendiri.

Tanpa adanya RKAB maka pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) juga tidak maksimal dalam menunaikan kewajibannya yang berhubungan dengan  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak tertentu. Beberapa PNBP yang umum terkait dengan pertambangan emas adalah royalti, iuran tetap.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdata sebanyak ratusan izin pertambangan yang belum bisa beroperasi lantaran Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan tambang tersebut belum disetujui atau tidak disetujui atau belum diajukan permohonannya oleh perusahaan pemegang IUP.

Dari data yang Sampai pada 10 Maret 2022 ini, terdapat sebanyak 2.337 izin perusahaan tambang mineral. Diantaranya 469 izin RKAB-nya sudah disetujui, 513 pengajuan RKAB di tolak, 280 RKAB dikembalikan dan sebanyak 1.075 izin RKAB masih dalam proses. Sedangkan dikutip dari halaman portal ESDM tercatat hingga 26 Desember 2024, Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba telah menyelesaikan 830 permohonan perizinan RKAB untuk komoditas mineral periode 2024-2026. Dari jumlah tersebut, 336 izin disetujui untuk produksi, 224 izin disetujui tanpa produksi, 262 ditolak, 6 dalam tahap evaluasi, dan 2 menunggu proses penilaian.

Namun dari data yang diperoleh masih banyak oknum perusahaan pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang melakukan pertambangan didalam IUP tanpa RKAB atau tetap melakukan pertambangan walaupun RKAB belum di setujui, Hal ini tentu saja  menimbulkan potensi kerugian ekonomi bagi negara mengingat dengan tidak adanya RKAB maka pemegang Ijin Usaha Pertambangan Emas tidak dapat melakukan kewajiban penerimaan negara.

Disatu sisi yang lain perusahaan juga harus berjalan mengingat nasib karyawan yang  bekerja di perusahaan tersebut jika perusahaan berhenti berproduksi tentu saja perusahaan akan melakukan efesiensi yang berdampak pada isu sosial dan ekonomi serta pemutusan hubungan kerja (PHK).

Beberapa masyarakat melihat bahwa pertambangan tanpa RKAB juga memiliki potensi kerawanan tindak pidana korupsi apabila tidak dilakukan pengawasan atau terjadi pembiaran yang dilakukan regulator pertambangan dalam hal ini kementerian yang membidangi terhadap perusahaan pemegang IUP tanpa RKAB yang melakukan pertambangan yang menyebapkan hilangnya potensi penerimaan negara.

Namun disisi lain panjang dan berbelit belitnya birokrasi penerbitan RKAB pertambangan emas juga dapat menghambat laju investasi didalam negeri mengingat pelaku investasi memerlukan kepastian hukum dan juga kepastian kebijakan pemerintah dalam bentuk birokrasi perijinan memiliki kejelasan layanan, kepastian waktu, efesiensi, akuntabiltas dan dapat diakses.

Birokrasi pengajuan RKAB Tambang dan kemampuan Pemerintah memprosesnya

Program perbaikan tata Kelola RKAB pada prinsipnya diperlukan dengan adanya penarikan kewenangan sekitar 1.900 izin dari Pemerintah Daerah Provinsi kepada Pemerintah Pusat, sehingga untuk perizinan yang berasal dari daerah diperlukan berbagai penyesuaian untuk dapat mengikuti seluruh ketentuan dan compliance yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Persyaratan terkait pengajuan RKAB  yang berupa studi kelayakan, ada izin lingkungan, laporan sumber daya dan cadangan.

Pemerintah harus menata kemampuan tenaga teknis dan verifikator di kementerian terkait yang berhubungan dengan layanan pengajuan RKAB pertambangan  sehingga layanan terhadap pengajuan RKAB dapat diberikan dengan baik sehingga menghindarkan hilangnya potensi penerimaan negara akibat pertambangan oleh perusahaan pemilik IUP tanpa RKAB.

Potensi Penerimaan Negara Yang Hilang akibat pertambangan tanpa RKAB

Setelah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tambang emas  disetujui, perusahaan tambang emas memikiki  kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak tertentu. Beberapa PNBP yang umum terkait dengan pertambangan emas antara lain royalti, iuran tetap, dan bagian keuntungan bersih pemegang IUPK. Sementara itu, pajak yang dikenakan antara lain Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa pihak ketiga. Apabila pertambangan dilakukan tanpa RKAB maka maka dapat hilangnya potensi penerimaan penerimaan negara tersebut

Seberapa efektif Sanksi administratif terhadap pertambangan emas dan logam tanpa RKAB ?

Terhadap kegiatan pertambangan emas oleh pemilik IUP tanpa RKAB sebenarnya sudah diatur Sanksi administratif  berupa peringatan tertulis, denda, penghentian sementara kegiatan, atau bahkan pencabutan izin usaha (IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan). Sanksi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Namun tentu saja kumpulan sanksi ini tidak memberikan  efek detern kepada pelaku usaha yang melakukan pertambangan tanpa RKAB bila tidak dilakukan pengawasan Melekat terhadap perusahaan pemegang IUP pertambangan emas, keterbatasan jumlah tenaga teknis inspektur tambang diduga menjadi faktor lemahnya pengawan tersebut.

Diakhir tulisan ini penulis memberikan saran dan masukan untuk menghindarkan hilangnya potensi penerimaan negara dari pertambangan oleh pemilik IUP pertambangan emas tanpa RKAB, dengan perlunya perbaikan layanan  oleh kementerian terkait penerbitan permohonan RKAB pertambang emas sehingga terciptanya kepastian layanan, efesiensi dan akuntabilias dan mudah di akses  diikuti dengan peningkatan pengawasan melekat terhadap pelaku usaha.

Oleh : Rido Doly Kristian, S.H, S.I.K, M.A.P